THR dan Ironi Kesejahteraan

TintaSiyasi.com — Mendengar kabar THR harus dibayar kontan, rakyat bersorak merasa senang, tentu saja kabar ini seperti dahaga  di tengah-tengah harga minyak goreng yang sudah semakin tinggi. Apalagi di masa pandemi di tahun sebelumnya pembagian THR  tidak sesuai dengan nilai nominal yang semestinya dibayarkan, namun saat ini pemerintah telah menetapkannya, bahwa THR harus dibayar full tanpa dicicil.  Terkait pembagaian THR tersebut disampaikan langsung oleh  Menaker Ida Fauziyah. 
Menaker pun menegaskan THR bukan hanya hak para pekerja yang berstatus tetap tetapi juga bagi pekerja yang lainnya. Yang mana THR ini sebagai bekal bekerja dalam memenuhi kebutuhan hari raya. 
Berdasarkan pasal 5 PP Nomor 6 Tahun 2916 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaanya bagi Pekerja/Buruh perusahan, THR akan diberikan selambat-lambatnya 7 hari sebelum Hari Raya Keagamaan. THR tersebut akan dibayarkan sesuai dengan Hari Raya Keagamaan pekerja. 
THR dan Ketimpangan Kesejahteraan
Istilah THR pertama kali muncul di era Orde Baru, tepatnya pada masa kabinet Seokiman Wirajosandjojo yang dilantik pada April 1951. Ini merupakan salah satu program kabinet kerja guna meningkatkan kesejahteraan Pamong Praja. 
Pamong Praja sendiri merupakan sebutan yang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) di era awal kemerdekaan. Saat itu, Soekiman yang seorang nasionalis berhaluan Islam dari Partai Masyumi, meluncurkan program THR bagi para Pamong Praja. Kebijakan tersebut tentu ditentang oleh buruh, karena menilai kebijakaan tersebut tidak adil, karena yang bekerja bukan PNS saja, namun juga semua orang yang bekerja butuh diperhatikan negara termasuk buruh, sehingga tidak ada ketimpangan kesejahteraan. Seiring berjalannya waktu,  akhirnya pemerintah mengeluarkan kebijakan di bawah kendali Orde Baru, Menteri Tenaga Kerja meluncurkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang THR Keagamaan bagi semua pekerja di perusahaan. Hak para karyawan mendapat THR mempunyai payung hukum.
Ritual pembagian THR diberikan menjelang hari Raya Keagamaan, dengan  dalih untuk membantu keperluan pekerja dan keluarga dalam menyambut Hari Raya Keagamaan. Dalam kebijakan ini tentu patut dikritisi bersama, bahwa sebenarnya THR bukanlah indikasi kesejahteraan rakyat dapat terpenuhi begitu saja. Justru sebaliknya adanya THR sebagai tanda bahwa, rakyat  sedang membutuhkan peran negara dalam memenuhi kebutuhan menjelang lebaran.
Kita paham setiap menjelang lebaran, rakyat dihadapkan dengan harga kebutuhan pokok semakin melambung, ditambah biaya transportasi untuk mudik pun ikut meroket. Jadi sebenarnya apabila THR ini direalisasikan sejatinya tidak mampu menutupi kebutuhan yang lain. Sehingga kita dapat menyimpulkan, bahwa THR yang selama ini dinanti-nantikan bukanlah jaminan kesejahteraan dan jaminan kebutuhan bisa tertutupi. 
Kenaikan kebutuhan pokok dan transportasi pun seharusnya negara mampu mengatasinya. Namun kenyataan berkata lain, rakyat sendiri harus menanggung bebannya sendiri, berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya. Sungguh sangat ironi, apabila pemerintah sudah merasa memberi bantuan dalam bentuk THR, namun di sisi lain pemerintah tidak mampu mengendalikan harga barang agar stabil. Seharusnya negara secara keseluruhan mampu memberikan kesejahteraan rakyat tanpa melihat apakah dia pekerja ataukah bukan, sehingga keadilan dapat dirasakan secara menyeluruh tanpa membeda-bedakan rakyatnya.
Negara Wajib Mensejahterakan Rakyatnya
Sabda Rasul SAW, “Al-Imâm râ’in wa huwa mas`ûl[un] ‘an ra’iyyatihi (Imam/ khalifah/ kepala negara adalah pengurus rakyat dan dia dimintai pertanggungjawaban atas pengurusan rakyatnya).” (HR al-Bukhari).
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (QS An-Nisa [4]: 58).
Kiranya ayat di atas menjadi jaminan, bahwa dalam Islam peran kepala negara sangat urgen, yaitu untuk mengurus umat, dan negara mempunyai kewajiban untuk memenuhinya. Apakah itu pendidikan, kesehatan, keamanan, dan yang paling utama adalah terpenuhinya kebutuhan pokok, seperti sembako. 
Islam mempunyai aturan yang khas dan berbeda dengan sistem buatan manusia, yaitu menjadikan sumber daya alam sebagai sarana untuk diolah oleh negara, guna mensejahterakan umatnya, haram hukumnya apabila dikelola untuk kepentingan pribadi atau asing. 
Siapa saja penduduk negara Islam adalah tanggung jawab yang wajib dipenuhi hajatnya oleh negara, dan tidak melihat apakah dia Muslim atau non-Muslim. Tanggung jawab negara sepanjang masa, selama umat membutuhkan maka peran negara harus ada. Setiap kepala negara dalam sistem Islam, menjadikan kepimpinan bukan sarana untuk memperkaya diri, namun sebagai bentuk amal shaleh, yang akan dipertanggungjawabkan di sisi Allah. Wallahu a’lam. []
Oleh: Anastasia, S.Pd.
Sahabat TintaSiyasi

source https://www.tintasiyasi.com/2022/04/thr-dan-ironi-kesejahteraan.html

Oleh anakislam Dikirimkan di Berita

Tinggalkan komentar